Perjuangan untuk Kembali

 

Perjuangan untuk Kembali

Langit di Ibukota tak pernah gelap gulita. Mendungnya di atas sana sedikit berpendar jingga, memantulkan gemerlap cahaya lampu dari ribuan gedung di bawahnya. Belum lagi lampu-lampu jalanan yang tak pernah berhenti menyala, membersamai jutaan manusia-manusia tak tahu waktu, tak kenal istirahat.

Cahaya di Ibukota selalu hidup. Ketika adzan Subuh mulai berkumandang, perlahan cahaya-cahaya lampu itu disusul oleh cahaya semburat merah dari ufuk timur jauh. Semburat merah itu hadir hanya sebentar, sekedar mengumumkan bahwa sudah saatnya lampu-lampu dimatikan. Sebentar lagi sang surya akan menduduki tahtanya di langit, menghantarkan cahaya dengan intensitas yang lebih dahsyat.

Cahaya di Ibukota selalu hidup. Atau bisa dibilang, terlalu hidup. Karena itulah, jendela-jendela sebuah kamar kosan selalu tertutup dan dilapisi gorden-gorden gelap dan tebal. Pintunya selalu tertutup, kecuali beberapa saat saja, ketika penghuninya bergerak keluar ataupun masuk.

Si penghuni pun tidak peduli, apakah lampu di kamarnya itu sudah putus sejak beberapa bulan yang lalu. Dia tidak merasa membutuhkannya. Dalam beberapa jam dia berdiam di kamar itu setiap harinya, hanya satu yang dia inginkan: tidur nyenyak.

Tok! Tok! Tok!

“Nak Fajar, ini ada bubur ayam. Mumpung masih panas,” terdengar suara wanita yang nampaknya dari sang pengetuk pintu.

Si penghuni itu pun beringsut dari selimutnya menuju ke pintu. Ditariknya gagang pintu dengan mata setengah terpejam. Seketika cahaya pagi menerobos kamarnya yang gelap, memperlihatkan isi ruangan itu.

Kamar itu sebenarnya rapi dan tidak kumuh. Bahkan bisa dibilang cukup mewah untuk sebuah kamar indekos. Ada sebuah meja belajar beserta kursinya di salah satu sudutnya. Beberapa buku kesehatan tertata rapi di sana, disusun sesuai ketinggiannya. Sebuah lemari pakaian dua pintu bernuansa modern dan minimalis ada di sisi yang lain. Sebuah AC menempel di atas salah satu dindingnya, mengatur sirkulasi udara dengan senyap. Satu-satunya bagian yang berantakan dari kamar itu hanya kasur dan selimutnya yang baru saja disingkap oleh yang empunya.

Si penghuni kamar yang rupanya bernama Fajar itu mengernyitkan matanya. Wajahnya kurus dan pucat tanda kurang tidur dan hampir tak pernah terkena panas matahari. Rambutnya masih acak-acakan bekas tidur. Begitu melihat wanita paruh baya yang memanggilnya, senyum kecil dia paksakan di wajahnya. “Terima kasih, Bu,” katanya.

“Tadi malam dapat giliran jaga ya? Maaf ya, mengganggu tidurnya. Soalnya mumpung buburnya masih panas. Kalau sudah dingin tidak enak,” kata wanita itu.

“Iya, nggak apa-apa, Bu, terima kasih,” jawab Fajar.

“Ini, sekalian Ibu mau menyampaikan. Hari ini internetnya mau Ibu ganti, ya. Mau ganti IndiHome, biar lebih lancar. Titip sampaikan juga ke Nak Roni, ya. Nak Roni-nya sudah berangkat kerja kayaknya. Dari kemarin nanyain Ibu terus, kapan mau ganti IndiHome,” kata perempuan paruh baya itu yang ternyata ibu indekosnya.

“Iya, Bu, siap,” jawab Fajar.

“Terima kasih, ya. Buruan dihabiskan buburnya, mumpung masih panas. Ibu mau pergi dulu.” Wanita itu pun berlalu pergi.

Fajar memandang mangkuk bubur panas di tangannya. Lalu melirik ke atas bola lampunya yang sudah putus berbulan-bulan. Entah kenapa dia selalu lupa untuk membeli bohlam baru. Tapi dia merasa itu bukan masalah. Dibukanya pintu kamar selebar-lebarnya untuk membiarkan sebanyak mungkin cahaya masuk ke dalam kamarnya. Sambil duduk bersila di depan pintu, dia mulai menyendok bubur ayam yang masih mengepul di depannya.

Alhamdulillah, jatah uang sarapan hari ini bisa ditabung, batinnya. Sudah bertahun-tahun dia terbiasa hemat dan rajin menabung. Bukan karena gajinya kurang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, namun dia ingin menggunakan uang itu untuk sesuatu hal yang lebih besar.

Tiba-tiba dia teringat pada HP-nya yang sedang diisi daya di atas meja. Sudah penuh belum, ya? Batinnya bertanya-tanya. Jangan-jangan ada pesan dari rumah sakit. Tangannya meraih HP tersebut dan mulai menyalakannya. Seperti biasa, HP-nya langsung diserbu ratusan pesan yang belum terbaca. Dia scroll-scroll memeriksa pesan-pesan mana saja yang kira-kira penting.

Sebuah pesan mengganggu perhatiannya. Dari Nadin, tetangganya di desa. Nadin inilah yang menjadi penghubung pesan antara dia dan ibunya.

“Assalamu’alaykum. Mas, jadi pulang, nggak? Sudah ditunggu Bude,” begitu isi pesan dari Nadin.

Pesan itu sudah ditulis sekitar seminggu yang lalu. Ah, kenapa baru lihat sekarang, batin Fajar.

“Wa’alaykumussalam, maaf, Din. Baru bales. Ketimpa pesan-pesan yang lain,” jawab Fajar.

Ternyata, selang beberapa detik Nadin langsung membalas, “Mas, sampeyan nggak kangen Bude, tah? Sudah dua tahun lebih, lho, Mas nggak pulang.”

“Ya kangen, Din. Lha bagaimana, kerjaan di sini nggak bisa ditinggal,” kata Fajar.

“Gimana ya, Mas. Aku toh bukan siapa-siapamu. Tapi tiap aku lihat Bude Sun itu rasanya sedih gitu. Sudah tua. Sendirian di rumah. Sering aku lihat Bude itu melamun, entah memikirkan apa. Sudah kangen banget sama dirimu kayaknya, Mas,” kata Nadin. “Nadin paham kerjaan Mas itu penting. Tapi, kan, pasien itu bisa ditangani orang lain, rekan-rekannya Mas kan banyak. Tapi Bude cuma punya anak satu, Mas. Cuma Mas saja.”

Fajar termenung lama, masih memegang HP di tangannya.

“Maaf ya, Mas, kalau aku lancang.” tambah Nadin.

“Nggak apa-apa, Din. Makasih udah ngingetin,” jawab Fajar.

Bukannya tidak memikirkan ibunya. Fajar sudah memikirkan masalah ini dari sejak lama. Hatinya bergejolak antara dua pilihan: tetap merantau atau kembali pulang untuk selamanya.

Terngiang di telinga pesan-pesan Bapak,”Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain. Semakin banyak orang yang mendapatkan manfaat darimu, berarti semakin baik. Untuk Bapak Ibu, cukup kamu do’akan kami saja.”

“Kalau kamu ke kota besar. Di sana ada banyak orang yang bisa mendapatkan manfaat darimu. Pergilah kau merantau. Tidak apa-apa. Kau tidak perlu takut. Selama kau menjaga Allah, Allah akan menjagamu,” kata Bapak. Pesan itulah yang akhirnya membuatnya mantap melamar pekerjaan di rumah sakit besar di ibukota, sesaat setelah lulus pendidikannya. Dia ingat begitu bahagianya Bapak dan Ibu begitu mengetahui dia diterima di rumah sakit tersebut.

Sebenarnya bukan ketakutan yang melingkupi dirinya. Namun, wajah ibunya tak bisa hilang dari depan matanya. Apalagi setelah Bapak wafat, semakin berat rasanya kembali ke tanah rantau. Setiap kali dirinya hendak menaiki motor yang akan membawanya ke terminal, dilihatnya ibunya melambaikan tangan sambil tersenyum. Iya, tersenyum, tapi matanya seakan-akan mengatakan,”Cepat kembali ya, Nak.” Mata sendu itu yang menghantuinya. Setiap hari.

***

“Kenapa lu, ngelamun mulu?” Tiba-tiba Roni, rekan sejawatnya menepuk bahunya dari belakang. Fajar hanya tersenyum. “Yuk, kita ngobrol sambil makan siang di kantin.” Roni menarik bahunya, membuat Fajar mau tak mau harus beranjak mengikuti.

“Bro, gue tahu lu itu pengen bermanfaat bagi orang banyak. Tapi nggak ada salahnya lho, kalau lu memilih pulang untuk berbakti sama orang tua,” Kata Roni.

“Kok lu tahu yang gue pikirin?” tanya Fajar kaget.

“Ya tahu lah, udah berapa tahun kita tinggal sekosan? Tiap hari yang lu curhatin ya itu-itu aja.” kata Roni menyindir.

“Hehe... ya iya, sih.”

“Bro, kalau lu kepikiran terus begini, kerja juga nggak fokus, nggak maksimal. Mending lu ambil cuti panjang, pulang, sampai hatimu tenteram. Urusan kerjaan pasti ada yang bisa handle, Bro. Jangan khawatir,” kata Roni.

“Iya juga sih, Bro, thanks udah kasih saran,” jawab Fajar. Bukan menyetujui sebenarnya, karena Fajar sudah punya rencana lain. “Oiya, tadi Ibu Kos titip pesan kalau hari ini wifi-nya kos mau diganti IndiHome.”

“Wuih, mantap, Bro! Makin lancar kita internetan. Mau teleconference lancar. Mau nge-game juga lancar. Aktivitas Tanpa Batas,” ujar Roni menirukan intonasi ala iklan.

“Nge-game aja pikiran lu. Tuh, laporan belum dikumpulin,” balas Fajar.

“Siap, Pak Bos super rajin. Yang penting kalau sudah ada IndiHome di kosan, lu mau ada wawancara daring lagi nggak kelabakan kayak kemarin,” jawab Roni dengan yakin. “Oh iya, hasil wawancaranya sudah keluar belum?”

“Belum. Besok pagi insyaAllah,” jawab Fajar tersenyum.

“Semoga dapat hasil terbaik, Bro,” ucap Roni.

“Aamiin,” jawab Fajar dengan penuh harap.

***

Malam harinya, Fajar tidak bisa tidur. Duduk bersila di sofa ruang tamu indekosnya, memandangi laptop yang layarnya tidak bergeming sedikit pun. Dirinya tidak piket malam ini. Jadi seharusnya bisa saja dia gunakan kesempatan ini untuk tidur sejenak. Namun, surel yang tidak kunjung datang menghilangkan rasa kantuk dari kepalanya. Hatinya gelisah. Semakin mendekati tengah malam, semakin gelisah juga dirinya.

Ah, salat tahajud dulu saja. Biar hatiku tenang, batinnya. Dia beranjak ke tempat wudhu. Lalu masuk kembali ke dalam kamarnya yang gelap gulita, menghamparkan sajadah, dan mulai beribadah dalam keheningan. Usai salat, doa dia panjatkan kepada Yang Maha Kuasa. Engkaulah yang memberikan segala keputusan terbaik, bisiknya.

Tung!

Terdengar bunyi notifikasi dari laptopnya. Sepertinya surel yang ditunggu-tunggu telah tiba. Sambil mengatur napasnya, Fajar mendekati laptopnya. Benar saja, di layar telah muncul sebuah surel baru.

Klik!

Fajar membuka surel tersebut. Di surel itu tertulis:
We would like to offer you the position as a lecturer at 
The Faculty of Medicine in International Online University.


Kami ingin menawarkan Anda posisi sebagai dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Online Internasional


“Alhamdulillah!” Fajar spontan bersujud syukur.

***

“Assalamu’alaykum, Yan. Jemput aku di terminal ya,” pesan Fajar ke HP Yayan, kakak laki-laki Nadin. Sebelumnya, dia sudah membuat janji dengan Yayan.

“Oke, Mas. Sebentar lagi sudah jam pulang kerja. Tapi nanti pulangnya mampir masjid dulu gimana? Biar nggak maghrib di tengah jalan.”

“Oke, aku juga mau sholat dulu kok.”

Selang lima belas menit, Yayan muncul, mengacungkan helm. “Maaf, Mas, agak lama. Nadin tiba-tiba minta dibelikan ayam goreng tepung.”

“Iya, nggak apa-apa.”

Yayan mengenakan helmnya dan duduk di bagian depan motornya sebagai pengemudi, sedangkan Fajar membonceng di belakangnya. Tak lama, Yayan langsung tancap gas menuju masjid terdekat. Sebentar lagi adzan maghrib akan berkumandang.

Setelah memarkir sepeda motornya di pelataran masjid, kedua pemuda itu duduk di tepi terasnya. Sambil melepas sepatu dan kaos kakinya, Yayan bertanya kepada Fajar,”Kapan balik lagi ke Jakarta, Mas?”

Fajar tersenyum bangga, ”InsyaAllah kali ini aku menetap di kampung, Yan.”

“Hah?! Kenapa Mas?” Yayan terkaget-kaget.

“Alhamdulillah, setelah bertahun-tahun, akhirnya ajuan mutasiku ke puskesmas kecamatan diterima,” jawab Fajar masih tersenyum.

“Serius, Mas? Wah, Bude pasti senang dengarnya,” kata Yayan.

“Ya, tujuanku memang itu, Yan. Untuk merawat orangtua,” ujar Fajar.

“Tapi di sini, kan gajinya kecil, Mas. Nggak ada banyak peluang-peluang juga,” kata Yayan.

“Ah, nggak juga. Di masa serba internet seperti sekarang, di desa pun bisa tetap banyak berkarya, lho. Tidak mudah memang meninggalkan zona nyaman. Ada banyak hal yang perlu diperjuangkan. Ada ego yang harus ditekan. Ada pengorbanan yang harus direlakan. Tapi kan, kita sudah punya prioritas,” kata Fajar. ”Oh iya, besok bisa bantu aku pasang IndiHome di rumah, nggak? InsyaAllah selain kerja di puskesmas, aku juga mau mengajar daring.”

“Bisa banget, Mas. Itu sih gampang. Nadin pakainya juga IndiHome di rumah. Blogging-blogging gitu dia sekarang,” kata Yayan bersemangat.

“Mantap. Terima kasih ya.”

“Yoi,” jawab Yayan mengacungkan jempol.

***

Usai menunaikan shalat maghrib, Yayan dan Fajar melanjutkan perjalanan ke desa. Jalanan yang dilalui semakin lama semakin berubah. Dari awalnya jalan beraspal yang lebar berubah menjadi jalan cor yang lebih sempit. Pemandangan pun berubah. Dari toko-toko yang terang benderang, berubah menjadi rumah-rumah penduduk, hingga akhirnya terangnya jalan yang dilalui Yayan hanya didapat dari lampu-lampu bohlam yang dipasang sepanjang jalan dan pantulan kemilaunya di sawah-sawah yang terendam air. Suara manusia dan kendaraan berubah menjadi suara kodok dan serangga. Sungguh suasana yang sangat berbeda dari malam di Ibukota.

Sepeda motor Yayan berbelok masuk ke dalam jalan yang lebih kecil. Semakin lama, jalannya semakin kecil. Pemandangan yang tadinya hamparan sawah yang membentang, lama-lama berubah menjadi bayangan semak-semak dan rimbunan bambu. Yayan menghentikan sepeda motornya di depan sebuah jalan yang lebih sempit lagi. Jalannya agak menanjak dan berbatu.

“Mas, aku lanjut pulang ya. Sudah ditunggu Nadin titipan ayam gorengnya,”kata Yayan.

“Iya, makasih ya, Yan,” kata Fajar, turun dari motor dan menyerahkan helmnya. Yayan pun menekan gas motornya, meninggalkan Fajar sendiri.

Hari sudah gelap, namun Fajar begitu mengenal jalanan ini. Jalan yang tidak pernah berubah sejak dia masih kanak-kanak. Jalan yang sama yang selalu dia lewati sepulang mengaji setiap malamnya. Dengan mantap ditapakinya jalan menanjak berbatu itu. Sepatunya membuat suara-suara gaduh di kerikil-kerikil. Begitu gaduhnya, sebab tidak ada lagi suara hingar-bingar perkotaan di sini. Hanya sesekali saja terdengar suara serangga menggesekkan sayapnya.

Fajar terus berjalan hingga suatu kelokan yang ditandai rumpun bunga sepatu. Di balik kelokan itu, berdirilah dengan gagah sebuah rumah kayu sederhana. Pintu dan jendelanya tertutup. Namun, Fajar dapat melihat remang cahaya lampu dari dalam rumah itu menembus sela-sela dinding kayu. Ada sesuatu yang terasa sesak di dalam dadanya. Dia menghela napas lalu menghembuskannya perlahan. Lalu melanjutkan langkah menghampiri rumah tersebut. Diulurkannya tangan mengepal ke daun pintu itu.

Tok!Tok!Tok!

“Assalamu’alaykum… Ibu… Fajar pulang….”




#IndiHomenulis
Photo by Canva

10 Komentar

  1. Saya sudah lama sekali tidak baca cerpen. Keren cerpennya! Alur dan deskripsi pendukungnya detil jadi bisa membayangkan suasananya

    BalasHapus
  2. Cerpen yang luar biasa, membawa pembaca ikut masuk kedalam alur ceritanya. Indihome bisa jadi solusi untuk kita semua ini.

    BalasHapus
  3. Enak banget ya dikosan ada wifi, mau diganti IndiHome pula, hehe. Aktivitas tanpa batas bersama IndiHome 🤩

    BalasHapus
  4. Duh bagus sekali cerpennya. Kerasa banget, bisa dibayangkan kondisi dan suasana saat membacanya

    BalasHapus
  5. Biasanya baca tulisan artikel Mbak Nia yang Bahasa Inggris, trus tiba-tiba ada cerpen di blog nya... keren banget. Ngalir banget bacanya, so natural. Keren, Mbak

    BalasHapus
  6. ow.. ini cerpen to? saya kira beneran ceritanya... mengalir sekali saat bacanya hehehe

    BalasHapus
  7. Baca cerpennya gak kerasa, aku suka banget sama pilihan diksinya. Aku ikutan sedih di posisinya Fajar dan akhirnya happy ending. Aku ngebayangin percakapannya pake logat jawa😂. Btw iklannya smooth banget loh mbk🤭.

    BalasHapus
  8. sukak sekali sama gaya penulisannya mba, pasti udah banyak karya cerita yang ditulis nih. bener-bener dibuat larut dan ikut merasakan apa yang ada dalam cerita.

    BalasHapus
  9. Sebagai anak yg dulu pernah merantau merasakan juga kegundah gulanaan Fajar. Ketika aktivitas didaerah rantau yg ga abis-abis dan kita ga bisa setiap waktu tengok orangtua.. Hidup anak rantau 😇

    BalasHapus
  10. Cerpenny enak sekali dibaca, mengalir dn menarik dibaca terus brlanjutttt...saya jg pakai imdihome untuk blogging dn mngajar online

    BalasHapus

Silakan tinggalkan komentar, tapi bukan link hidup ya