Kisah Penyintas COVID

covid virus animation


Assalamu’alaykum, Tetangganet! Bagaimana kabarnya? Semoga semuanya tetap sehat ya! Kali ini, saya ingin berbagi cerita, yang benar-benar berkesan bagi saya. Cerita ini saya dengar langsung dari tokoh dalam cerita ini. Saya yakin, ada banyak hikmah yang dapat kita ambil dari tetangga kita yang satu ini. Karenanya saya ingin membagikan cerita ini kepada Tetangganet sekalian.

Sabtu, 28 Agustus 2021 adalah hari yang berkesan untuk saya. Pada hari ini saya mengikuti program Teacher Motivation Day, yang biasa berisi kajian-kajian keagamaan untuk guru, agar kami bisa kembali meluruskan niat dan kembali bersemangat menjalani hari sebagai seorang guru.

Tapi hari itu, ada yang sangat berbeda pada progam TMD kali ini. Yang biasanya saya hanya mendengarkan ceramah sambil lalu saja, kali ini saya bisa mendengarkan sambil duduk terdiam. Hati ini rasanya seperti dipermalukan. Wajah ini tak sanggup untuk memandang sang Pembicara pada hari itu. Ekspresi apapun yang saya tampakkan seakan tidak akan pantas terpampang di layar. Rasanya ingin sekali mematikan kamera pada Zoom kali ini, tapi sang Pembicara sudah meminta kami untuk membuka kamera. Saya menjadi salah tingkah.

Kegiatan pada pagi itu dimulai dengan ceria. Kami saling menyapa, bercanda, dan bermain tebak-tebakan. Lalu sesi sharing dimulai.

Sang Pembicara tidak lain adalah rekan kami sendiri. Kami sudah mengetahui bahwa beliau sekeluarga adalah penyintas COVID, tetapi kami belum pernah mendengarkan kisah lengkap beliau sebelumnya.

Sang Pembicara memulai dengan membacakan satu ayat dalam Al Quran.

Dimulai dari ketika Sang Suami jatuh sakit, dan menunjukkan gejala-gejala COVID. Mereka berdua tinggal di rumah. Mengisolasi diri. Keadaan kota kami waktu itu kasus COVID sedang tinggi-tingginya. Tidak ada tempat di rumah sakit yang tersisa. Karenanya, mereka memutuskan untuk isolasi mandiri di rumah.

Tak lama berselang, sakit Sang Suami pun memberat. Mereka memutuskan untuk tidak memberitahukan kepada keluarga, karena khawatir keluarganya akan panik dan malah datang menemui mereka untuk merawat. Hasil tes keduanya menunjukkan positif COVID. Sang Suami menunjukkan gejala yang berat, sedangkan sang Istri tidak. Diduga karena sang Suami belum menerima vaksin, sedangkan sang Istri sudah. Lama-kelamaan kondisi sang Suami semakin memburuk, hingga napasnya sudah tersengal-sengal. Sementara itu rumah sakit belum dapat menyediakan bed kosong untuk sang Suami.

Sang Pembicara akhirnya membeli beberapa oksigen kalengan untuk Sang Suami. Dia tidak menyangka bahwa beberapa kaleng itu hanya mampu dipakai selama beberapa jam saja. Sedangkan keesokan paginya, Sang Suami harus mendapatkan oksigen dari rumah sakit.

Syukur alhamdulillah, keesokan paginya, sang Pembicara mendapatkan kabar bahwa ada satu bed kosong di salah satu rumah sakit. Namun, permasalahan lain muncul. Tidak ada ambulans yang bisa menjemput sang Suami dari rumah menuju rumah sakit. Sedangkan mereka hanya tinggal berdua. Itupun sang Istri juga sedang dalam keadaan sakit.

Seorang teman mereka menyarakankan,”Bagaimana kalau memesan taksi online saja? Tidak usah bilang kalau terkena COVID.” tentu saja Sang Pembicara langsung menolak. Bagaimana mungkin mereka mengorbankan sopir taksi onlinenya, para penumpang setelahnya, dan juga keluarga dan teman-teman mereka?

Dan akhirnya, sang Istri bertanya dengan sedih,”Mas, kalau saya antar dengan sepeda motor kuat?” Dengan terpaksa, sang Istri membonceng Sang Suami dengan menggunakan sepeda motor mereka. Mereka tiba di rumah sakit, dan Sang Suami langsung mendapatkan perawatan.

Sang Istri kembali ke rumah dan melanjutkan isolasi mandirinya. Sementara di rumah sakit, kondisi sang Suami tak kunjung juga membaik. Begitu berat cobaan ini menghantam diri sang Istri, hingga akhirnya beliau memutuskan untuk memberikan kabar kepada kakak kandungnya dan keluarga mertuanya. Beliau akhirnya sadar, bahwa Sang Suami bukan hanya suaminya. Tetapi juga anak dari ibunya dan bapaknya dan kakak dari adik-adiknya. Tak mungkin kondisinya akan terus ditutupi, sedangkan kondisinya semakin memburuk. Apa yang akan dikatakannya bila sang Suami tiba-tiba dipanggil Sang Maha Kuasa? Apakah mungkin dia mengambil hak keluarganya untuk bisa mendoakan sang Suami di saat-saat kritisnya?

Sang Istri sedang berada dalam titik terendahnya. Di satu sisi, fisiknya sedang sakit. Di sisi lain, hati dan pikirannya terkuras untuk kesehatan suaminya. Jika orang bilang, walaupun positif COVID harus tetap happy agar bisa cepat sembuh, ” Mana bisa?” kata beliau. Hingga di satu saat beliau pun pingsan di rumahnya, dan tak ada orang yang menolong, hingga akhirnya beliau bangun sendiri.

Sang Kakak akhirnya datang ke rumahnya, memberikan kubis dan burung puyuh yang siap makan dalam jumlah banyak, sampai-sampai sang Pembicara tidak habis pikir bagaimana akan menghabiskannya. Dan juga seuntai nasehat, agar bersabar, dan memperbanyak doa, membaca Al Quran dan sedekah.

Beliau mengatakan, di saat manusia tidak lagi memiliki kuasa, ia hanya bisa menyerahkan semuanya kepada Yang Maha Kuasa. Yang bisa dilakukannya hanya beribadah dan berdoa.

Ketika keadaan Sang Suami makin memburuk, dan seorang perawat menghubungi Sang Istri untuk mencarikan donor plasma, Sang Istri pun kebingungan. Darimana dia akan mencari donor-donor tersebut, sedangkan dia sedang isolasi mandiri di rumah? Bagaimana dia harus mengurus keperluan Sang Donor ke PMI dan rumah sakit? Akhirnya sang Istri memutuskan untuk membuat pengumuman di grup-grup Whatsapp. Alhamdulillah, ada kakak seorang siswanya yang bersedia menjadi donor. Dan syukurnya lagi, dia bisa memberikan langsung 2 kantong plasma untuk Sang Suami tanpa jeda!

Sang suami pun membaik dan akhirnya diizinkan untuk melanjutkan perawatan di rumah.

Tapi perjuangannya belum berakhir di sini.

Setelah suaminya diizinkan pulang, Sang Pembicara masih harus merawat adik dan kedua mertuanya yang ternyata juga positif COVID.

Bisa dibayangkan betapa lelahnya menjalani itu semua. Bagaimana dengan diri ini yang masih sering mengeluh walaupun badan ini sehat? Bagaimana dengan diri ini yang masih sering cemberut di depan suami, sedangkan suami telah berusaha memberikan banyak hal? Sungguh diri ini malu.

Begitulah ceritanya, Tetangganet. Semoga Tetangganet dapat mengambil hikmah dari cerita ini. Saya doakan semoga Tetangganet selalu sehat dan dalam lindungan Allah. Jaga kesehatan, disiplin prokes, dan semoga kita bisa segera keluar dari pandemi ini. Wassalam.

credits: gambar visualisasi virus corona oleh Fusion Medical Animation di unsplash.com

1 Komentar

  1. Sedih, terharu, plus rispek sama sang pembicara yang kuat banget dalam menghadapi situasi yang berat. Aku tau ga enak banget ada di posisi itu, bener-bener titik terendah. :"

    BalasHapus

Silakan tinggalkan komentar, tapi bukan link hidup ya