Assalamu’alaykum, Tetangganet. Pernahkah Tetangganet kangen dengan makanan-makanan tempo dulu? Atau mungkin Tetangganet penasaran dengan ragam kuliner tradisional yang sering diceritakan handai taulan?
Beruntung sekali minggu lalu, saya dan keluarga berkesempatan mengunjungi sebuah pasar makanan tradisional bernama Pasar Bahulak. Ya, seperti yang Tetangganet duga, nama Pasar Bahulak diambil dari istilah ‘jaman bahulak’ yang artinya jaman dulu kala.
Awalnya, saya dan suami hanya berniat untuk mengunjungi orangtua dan mertua, seperti yang rutin kami lakukan tiap akhir pekan. Ternyata, kebetulan sekali keluarga hendak berwisata kuliner di Pasar Bahulak di desa Karungan, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen. Sekalianlah kami diajak serta.
Kami berangkat pagi-pagi sekitar pukul enam. Dengan hati penasaran, kami naik mobil disopiri oleh suami. Bapak mengarahkan hanya bermodal ingatan “katanya…” Hmmm.. kenapa tidak pakai Google Map saja ya? Entahlah. Hehe…
Beberapa saat kemudian, sampailah kami di lokasi. Jalan masuk pasar lumayan sempit, tapi muat untuk mobil kami, alhamdulillah. Kami diarahkan ke tanah lapang berumput yang dijadikan tempat parkir. Tukang parkir berseragam tradisional dengan sigap mengarahkan mobil kami agar bisa parkir dengan rapi. Untuk parkir mobil, kami memberikan uang Rp 5.000 dan diberikan karcis parkir.
Memasuki area pasar, kami ternganga dengan banyaknya pengunjung. Ramainya… masyaAllah… Kami disambut dua gapura yang bisa dijadikan tempat berfoto bersama. Gapura pertama adalah gapura yang mirip seperti pintu candi batu. Gapura kedua adalah gapura bertuliskan Pasar Bahulak yang terbuat dari kayu. Kami sekeluarga, kecuali suami saya sebagai fotografer, berfoto di bawah gapura kedua sebagai kenang-kenangan. Sayangnya, kami lupa bergantian berfoto bersama sang fotografer. Kasihan.. Lain kali kalau datang lagi, kita gantian deh. Hihihi..
Pasar Bahulak ini buka tiap hari Minggu Pahing dan Minggu Legi. Jadi sekitar 2 kali tiap bulan. Cek cek kalender jawa deh, supaya bisa planning kunjungan selanjutnya. Pastikan juga datang pagi-pagi, karena pasar ini tutup ketika semua pedagang sudah kehabisan barang dagangannya, biasanya sekitar pukul 10-11 pagi.
Di pintu masuk, kami menukarkan uang rupiah kami dengan koin bathok (kulit dalam kelapa yang keras) yang bisa digunakan untuk membeli makanan atau permainan. Satu koin bathok ditukar dengan uang Rp 2.000. Saran kami kalau Tetangganet mau berkunjung, tukarlah secukupnya dulu. Kalau kurang, masih bisa tukar kembali kok.
Sesampainya di dalam pasar, kami memutuskan untuk melihat dulu searah jarum jam, makanan apa saja yang dijual oleh para pedagang di pasar ini. Ternyata banyak macamnya lho. Mulai dari sate kere, gablok, gendar, cenil, jagung bakar, hingga beraneka minuman seperti es dawet dan teh hangat. Penasaran? Tetangganet datang saja lah. Tak mungkin saya sebut satu per satu semuanya. Hihihi..
Baru di separuh jalan, si Adik Bungsu sudah mulai rewel mau jalan-jalan sendiri. Waduh! Akhirnya Bapak hanya minta dipesankan puli dan bongko saja, lalu berpisah dengan kami untuk menuruti keinginan si Bungsu.
Beruntung Ibu langsung menemukan stand yang berjualan puli dan bongko. Kami membeli beberapa bungkus. Tambah beberapa jagung rebus, es dawet, dan mie capcay. Lumayan juga banyak yang harus dipegang. Sementara itu, ternyata si Bungsu sudah masuk di area permainan anak-anak. Untuk masuk ke area permainan ini, setiap orang diwajibkan membayar 1 koin bathok. Saya dan Adik Nomor Tiga, memutuskan untuk menunggu di rumah joglo di salah satu sudut pasar saja.
Sambil menunggu di rumah joglo, kami mengamati berbagai wahana dan para pengunjung di pasar ini. Mayoritas pengunjung adalah penduduk lokal dan sekitarnya. Mulai dari anak-anak hingga orang-orang yang sudah lanjut usia. Ada yang mondar mandir berkeliling pasar, melihat-lihat setiap stand yang ada. Ada yang duduk-duduk di tikar di bawah pohon, sambil menyantap makanan yang sudah dibeli sambil bercengkrama dengan keluarga. Ada berfoto di photo booth ala rumah terbalik, ada yang berfoto dengan seorang gadis cantik yang berias wajah dan memakai kostum kupu-kupu ungu.
Anak-anak berkeliling pasar naik becak-becak mini. Banyak yang bermain-main di area permainan anak. Ada juga yang memilih-milih mainan tradisional yang berada di stand mainan di dekat pintu keluar. Si Bungsu sendiri memilih mainan tongkat helikopter yang bisa berbunyi ketika didorong dan sebuah topeng yang ternyata kekecilan ketika dipakai.
Dari tengah-tengah pasar, suara gamelan terdengar mengiringi sinden yang bernyanyi. Beberapa orang turun ke tengah arena dan ikut menari. Sementara sebagian besar hanya berdiri menonton dan menikmati suaranya saja.
Di rumah joglo sendiri, kami bertemu banyak kakek-kakek dan nenek-nenek yang memilih beristirahat. Beberapa sambil menyantap jajanan, selebihnya hanya duduk saja memandang pemandangan sekitar seperti kami.
Begitu Bapak dan si Bungsu bergabung dengan kami di rumah joglo, kami segera menyantap jajanan kami. Di dekat kami, duduk beberapa remaja berseragam dan berjilbab lebar. Ternyata mereka datang dari sebuah TPA (Taman Pendidikan Al Quran) di Plupuh. Mereka datang berekreasi bersama teman-teman dan gurunya.
Kami juga bertemu dengan Oom kami, anak adik nenek kami, yang ternyata salah satu pengurus di situ. Beliau bercerita banyak tentang pasar ini. Ternyata pasar ini dikelola oleh pemerintah desa. Pedagangnya berasal dari desa ini juga. Lokasi yang awalnya hanya kebun kosong milik desa, dikaryakan menjadi pasar wisata yang bisa menarik wisatawan dari berbagai daerah. Wah, kreatif ya..
Tiap hari Sabtu dan Minggu mereka melakukan kerja bakti untuk mempersiapkan dan membersihkan pasar ini. Pohon-pohon yang berada di kebun ini pun tidak banyak yang ditebang. Sebagian besar dibiarkan saja agar pasar tetap teduh dan sejuk. Makanya pasar ini tetap nyaman walaupun banyak orang yang datang. Full supply oksigen alami!
Pasar ini juga lengkap dengan fasilitas toilet. Tempah sampah dan tempat cuci tangan juga banyak tersedia di banyak titik. Tersedia banyak opsi duduk, mulai dari lesehan di tikar, di meja kursi kayu di sekitar stand, sampai tempat duduk di rumah joglo ala balai desa yang kami pilih untuk tempat istirahat. Yang penting berdoa saja hujan tidak turun ketika kita sedang berkunjung.
Hari sudah menjelang siang ketika kami beranjak pergi. Beberapa pedagang pun sudah mengosongkan standnya. Kami meninggalkan Pasar Bahulak dengan hati gembira. Keluar dari pasar, kami mengunjungi adik nenek kami yang ternyata dekat sekali dengan lokasi pasar. Pantaslah kalau Bapak bisa mengarahkan tanpa bantuan Google Map waktu kami berangkat tadi.
Begitulah cerita kami berwisata kuliner di Pasar Bahulak. Semoga Tetangganet bisa juga berkesempatan untuk berkunjung ke sana di masa mendatang ya.. Sampai jumpa di cerita kami berikutnya… Wassalamu’alaykum.
1 Komentar
Jadi kangen pasar kaegt rasanya :(
BalasHapusSilakan tinggalkan komentar, tapi bukan link hidup ya