Alan Efendhi: Menjemput Berkah dari Bumi yang Tandus

 

Alan Efendhi: Menjemput Berkah dari Bumi yang Tandus

Gunungkidul, sebuah kabupaten di bagian selatan Yogyakarta, dikenal sebagai daerah yang tandus. Bentang alamnya berupa perbukitan dan pegunungan kapur. Jangankan berharap petani sejahtera, lahan pertaniannya saja tidak subur dan sering mengalami kekeringan di musim kemarau. Wajar jika para orang tua mewanti-wanti anak-anak mereka agar tidak menjadi petani di Gunungkidul.

Namun, ada pemandangan yang unik di Dusun Jeruklegi, Desa Katongan, Kecamatan Nglipar, Gunungkidul. Ribuan tanaman lidah buaya berjajar rapi pot-pot di tepi jalan, di pekarangan-pekarangan rumah, juga di lahan-lahan tegalan. Jelas, tanaman lidah buaya tersebut tidak ditanam untuk sekadar menjadi pemanis halaman rumah warga saja. Ukurannya raksasa. Jenis Aloe vera Chinensis Barker ini lebih dikenal sebagai lidah buaya jumbo khas Pontianak, sering digunakan untuk industri farmasi, kosmetik, dan kuliner. Namun, mengapa lidah buaya jumbo ini bisa sampai di Gunungkidul?

Jika Anda berkunjung ke tempat ini sebelum tahun 2014, pemandangannya akan sangat berbeda. Pada tahun 2014 inilah, Alan Efendhi membawa 500 bibit aloe vera Chinensis Barker dari Pontianak ke kampung halamannya. Bibit-bibit aloe vera tersebut awalnya ia tanam di pekarangan rumahnya. Namun, kini budidaya aloe vera telah menyebar hingga ke seluruh wilayah desa.

Kembali ke Desa, Mengembangkan Potensi Desa

Alan Efendhi di tengah kebun lidah buaya
Alan Efendhi (Sumber: Tempo, Agustus 2024)

Alan Efendhi bukanlah seorang sarjana pertanian. Lulusan SMK jurusan otomotif ini awalnya merantau ke Jakarta untuk mencari penghidupan yang lebih baik, sebagaimana pemuda-pemuda Gunungkidul pada umumnya. Mimpinya ingin bekerja di pabrik otomotif atau perusahan besar di Jakarta.

Namun, takdir berkata lain. Bertahun-tahun di ibukota, mimpinya tak kunjung terwujud. Berbagai pekerjaan lintas bidang ia geluti, mulia dari bidang arsitektur hingga sistem informasi. Gajinya pas-pasan, hanya cukup untuk bertahan hidup di Jakarta. Sementara itu, ia melihat kedua orangtuanya semakin menua.

“... setiap tahun ketika lebaran pulang kampung, selalu melihat pertumbuhan orang tua semakin tua, semakin tua, kita enggak bisa membersamai. Itu yang menjadi beneran semangat saya pulang kampung,” kata Alan dalam wawancaranya di program Pacelathon RRI Yogyakarta. Keputusannya telah bulat, kembali ke desa, merintis usaha di desa, agar bisa tinggal dekat dengan orang tua.

Ketika ditanya, mengapa memilih bidang pertanian, Alan menjawab, “Di Gunungkidul, belum ada sesuatu yang mencolok banget untuk mengangkat potensi lahan kritis di Gunungkidul,"seakan yakin, bahkan di lahan tandus pun, pasti ada potensi sumber rizki yang bisa dimanfaatkan.

Lantas Alan mencoba mempelajari tanaman apa yang cocok untuk tanah kering seperti di Gunungkidul. Hasil pencariannya mengerucut pada empat jenis tanaman: buah naga, anggur, pepaya california, dan lidah buaya. Menyadari dirinya tidak memiliki keahlian bertani sama sekali, ia memilih lidah buaya karena paling minim perawatan, mudah tumbuh di mana saja, tidak mengenal musim, dan memiliki potensi serapan yang besar. Setidaknya ada empat industri besar yang siap menampung hasil panen aloe veranya, yaitu industri farmasi, kosmetik, pertanian, dan kuliner.

Perjuangan Melawan Stigma dan Keraguan


Meninggal pekerjaan di Jakarta dan memulai budidaya aloe vera bukanlah pilihan yang mudah bagi Alan. Masyarakat masih memandang profesi petani dengan stigma yang buruk. Apalagi, aloe vera adalah tanaman yang asing bagi masyarakat sekitar dan baru bisa dipanen paling tidak setahun setelah ditanam. Tidak mudah bagi Alan meyakinkan keluarga dan masyarakat sekitar bahwa usaha rintisan ini bakal berhasil.

Pernah, Alan merasa putus asa. Di awal-awal usahanya dirintis, masyarakat sekitar masih meremehkan dan meragukannya. Mereka menjual aloe vera yang Alan hibahkan secara gratis kepada para tengkulak karena belum percaya bahwa perusahaan Alan mampu menyerap semua hasil panen aloe vera mereka. Beberapa hari, ibunya sampai menangis melihat mobil-mobil tengkulak lewat untuk mengangkuti tanaman-tanaman tersebut. Bukannya menyerah, peristiwa itu menjadi sebuah lecutan bagi Alan untuk membuktikan kemampuannya.

Ketika masanya aloe vera dipanen, Alan mendapatkan cobaan baru. Setelah dihitung-hitung, jika hanya menyetorkan aloe vera ke industri besar dalam bentuk mentah, hasilnya tidak akan mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Maka, Alan memutar otak untuk memasarkannya dalam bentuk produk jadi untuk menaikkan harga jual. Alan memutuskan untuk terjun di bidang kuliner karena dinilai sebagai industri yang paling murah, mudah, dan segera bisa dikerjakan saat itu juga.

Alan mengembangkan produk minuman lidah buaya yang segar, sehat, dan dapat dikonsumsi semua kalangan. Minuman aloe vera ini diharapkan menjadi altenatif yang lebih sehat, terutama untuk anak-anak, di tengah gempuran maraknya minuman dengan kadar gula yang tinggi. Minuman tersebut diberi merek Rasane Vera.

Awalnya, Rasane Vera masih dipasarkan dalam kemasan yang sangat sederhana, seperti es lilin. Alan memasarkannya di kantin-kantin sekolah dan warung sekitar. Namun, Alan sebetulnya sudah memiliki visi besar untuk produknya ini. Ia ingin agar Rasane Vera dikemas secara profesional, higienis, aman, dan menarik.

Berkah Aloe Vera untuk Semua Kalangan


Sembilan tahun berselang, ternyata usaha Alan membuahkan hasil. Bahkan, tidak hanya berhasil mendapatkan pendapatan untuk dirinya sendiri dan keluarganya, tetapi juga berhasil mengangkat ekonomi masyarakat di lingkungannya dengan menampung hasil panen lidah buaya dari petani mitra.

Perusahaan Alan, Mount Vera Sejati, mampu memasarkan aloe vera dalam berbagai bentuk, mulai dari bentuk mentah, semi-mentah, produk jadi, bahkan limbahnya pun dapat diolah kembali menjadi bahan pupuk.

Kini, produk minuman Rasane Vera telah diproduksi dengan metode yang lebih modern dan higienis. Ada banyak varian yang ditawarkan dan telah dikemas lebih menarik. Tidak hanya kantin sekolah, Rasane Vera sudah dipasarkan di 104 toko oleh-oleh di Yogyakarta dan berbagai toko di seluruh Indonesia. Seribu cup bisa ludes terjual dalam sehari. Omzetnya bisa mencapai puluhan juta per bulan.

Berbagai Produk Rasane Vera
Berbagai produk Rasane Vera (Sumber: Instagram @aloeland_id)


Namun, niat Alan mengembangkan aloe vera tidak hanya cukup sampai di situ. Usahanya memang berfokus pada pemberdayaan masyarakat. Ia ingin semakin banyak orang mendapatkan lebih banyak manfaat.

Pada tahun 2017, ia mulai merancang berbagai program eduwisata aloe vera. Papan nama Aloe Land kini terpampang besar di desanya. Pelajar, mahasiswa, ibu-ibu PKK, kelompok tani, dan berbagai kelompok masyarakat datang dari berbagai daerah. Di Aloe Land, mereka dapat mempelajari tata cara budidaya aloevera, mulai dari pembibitan, penanaman, perawatan, pemanenan, pengolahannya sampai menjadi produk jadi, sampai ke pamasarannya. Bisnis eduwisata Aloe Land juga menjadi sumber penghasilan baru untuk para petani. Alan mengupah para petani untuk membantu di Aloe Land ketika ada tamu.

“Efek dominonya banyak sekali,” kata Alan.

Aloe Land
Eduwisata Aloe Land (Sumber: Google Maps / Elita Aulia, Januari 2025)

Usahanya juga telah menarik minat berbagai pihak untuk turut berkolaborasi mengembangkan budidaya aloe vera. Di antaranya LIPI (kini BRIN), Dompet Dhuafa, dan pemda setempat. Alan juga mendapatkan penghargaan Young Ambassador Program Yess Kementerian Pertanian tahun 2023 dan apresiasi Astra SATU Indonesia Award 2023 bidang Kewirausahaan.

Semakin lama, semakin banyak media yang meliput usaha Alan. Edukasi budidaya aloe vera pun makin populer. Semakin banyak kompetitor pengusaha aloe vera yang muncul di pasaran. Alan tidak sedikit pun merasa khawatir dengan adanya pesaing-pesaing baru. Justru, dia merasa bangga karena merasa berhasil membimbing para pemuda untuk bangkit dari desanya masing-masing.

Tidak Ingin Berhenti Berdampak

Walaupun kini usaha budidaya aloe veranya tidak lagi dipandang sebelah mata, Alan tidak berhenti berinovasi. Harapannya agar semakin banyak aloe vera yang bisa diserap dari petani. Melalui berbagai kesempatan, Alan juga terus mendorong para pemuda untuk tidak takut berkarya dari desa.

“Ketika usaha kita bisa berdampak positif bagi lingkungan, insyaallah usaha itu akan bisa bertahan lebih lama lagi dan bisa akan besar lebih besar lagi ke depannya,” kata Alan.

Keberanian Alan Efendhi mencoba sesuatu yang baru dan keteguhannya memperjuangkan visi membawa keberkahan bagi dirinya, keluarganya, dan juga masyarakat sekitar. Dia telah membuktikan, dari tanah yang tandus pun, ketika kita berikhtiar, ada rizki yang patut untuk dijemput.



#APA2025-BLOGSPEDIA



Referensi:

Instagram Aloe Land ​​https://www.instagram.com/aloeland_id/

YouTube RRI Yogyakarta. Pacelathon 3 Oktober 2025. Hijaukan Desa, Hasilkan Cuan. https://www.youtube.com/watch?v=6y1nPGc7Qug

Tempo. Agustus 2024. Wirausaha Aloe Vera Alan Efendhi Bukan Sekadar Tanaman Hias Lidah Buaya Biasa https://www.tempo.co/ekonomi/wirausaha-aloe-vera-alan-efendhi-bukan-sekadar-tanaman-hias-lidah-buaya-biasa-22899

Kompas. November 2024 Alan Efendhi, Menggerakkan Desa dengan Lidah Buaya https://www.kompas.id/artikel/alan-efendhi-menggerakkan-desa-dengan-lidah-buaya

0 Komentar